Sunday, April 6, 2014

#Education : Kisahku untuk Refleksi Pendidikan Masa Depan Indonesia

"Berjalan Tak Kenal Lelah Dan Tak Takut Kalah"
Masram Dahsyat 

Salam Berbagi! Kawan berbagi adalah sebuah hal yang istimewa, bermanfaat dan semuanya Inadah. Termasuk pada postingan kali ini, perkenalkan saya Agus Ramelan atau biasa sebut saja Masram dari tanah perantauan Kota Kembang. Kali merupakan sebuah kesempatan berharga untuk berbagi cerita dalam tajuk Lomba Blog Putera Sampoerna Foundation. Kalah menang bukanlah permasalahan, esensi terpenting adalah kita dapat berbagi gagsan yang tentunya berhilir pada satu tujuan yaitu Bangsa Indonesia yang lebih baik lagi. Berikut adalah sekadar cuplikan kisah pribadi yang saya harap dapat menjadi gambaran untuk Kondisi Masa Depan Pendidikan Indonesia. 

Persaingan Mulai Ada sejak SD 

Sumber : http://pmat.uad.ac.id/wp-content/uploads/images2.jpeg

Tahun 2002 silam bisa jadi merupakan awal dari sebuah kisah baru bagi diri saya. Kalau salah satu group band bilang, sebuah nama sebuah kisah. Namun, saya bilang sebuah kisah sebuah tonggak awal untuk menjadi insan sesungguhnya. Pada tahun tersebut saya menginjak usia anak-anak yang sedang duduk di bangku kelas IV Sekolah Dasar, tepatnya di SD N 1 Kepyar. Sebuah sekolah yang terletak tepat di pinggir sawah, di atas sungai, dan di tengah-tengah masyarakat perantau ulung yang berani melalang buana ke seantereo Indonesia. Hal yang unik dari sekolah saya waktu itu adalah hampir tiap bulan atap yang terbuat dari genteng tanah selalu pecah, alhasil ketika musim penghujan yang terjadi adalah atapnya bocor dan ketika musim kemarau yang terjadi adalah kilaun cahaya matahari menusuk mata membaurkan Teori Phitagoras yang mulai dituliskan Ibu Guru di papan tulis. Lebih uniknya lagi, pecahnya genteng tidak terjadi karena faktor usianya namun hal ini disebabkan oleh letak sekolah saya yang tepat berada di pantat gawang dari lapangan sepakbola utama Desa Kepyar. Hampir tiap sore juga tendangan super bak tendangan Si Madun memberondong atap genteng sekolah, asyik juga waktu itu saya melihatnya. Keasyikan semu jikalau hal itu masih terjadi saat usia saya sekarang ini. Terlepas dari kondisi fisik sekolah dan tentunya berlanjut ke sebuah kisah pertama saya waktu kelas IV SD, yaitu mulai terdapatnya persaingan belajar ketat antara kami sesama pelajar di satu kelas. Saya yang mulai mendapatkan posisi empuk di peringkat pertama juga tidak mau kalah untuk tetap bersaing. Waktu itu yang ada adalah ketika saya peringkat pertama, maka pujian, hadiah dan tepuk tangan hanyalah milik yang terbaik, yaitu saya Agus Ramelan. Yang lebih asyik lagi, ketika siswa lain bahkan orang tuanya sekalipun melihat nilai rapor yang saya peroleh pasti pada akan ndomblong (baca : terkagum-kagum). Persaingan awal kelas IV ini sejatinya bukan pertempuran yang nyata. Berkat persaingan ini saya mulai menemukan semangat untuk mengubah tradisi, begitupun juga dengan kawan sebaya ku yang lain. 


Mereka Mulai Terkikis 
Sedikit dirasa, banyak yang tak terasa bahwa perjalanan di sekolah dasar sudah berada di ujung tanduk. Sulit dibayangkan, usia hampir remaja bagi kami saat ini sudah diharuskan menelan berbagai doktrin yang berasal bertubi-tubi dari masyarakat sekitar bahkan kalangan internal keluarga. “Halah le, sekolah kuwi ora mareki. Mendingan lungo ngrantau neng Njakarta kono wae. Delokken kae paijo, rong tahun neng Njakarta muleh iso tuku sapi”. Kalimat inilah sering saya dengar yang mengandung makna imbauan untuk lekas merantau saja daripada sekolah tidak ada hasilnya. Rayuan ini ternyata berhasil, sekitar lima dari teman saya sekelas tergiur untuk memutuskan tidak melanjutkan sekolah. Keputusan ini diimbangi dengan asumsi sekaligus permasalahan klasik yang menyebutkan sekolah itu mahal, walaupun masih di tataran Sekolah Menengah Pertama. Memang jumlah kawan saya yang berhenti sekolah hanyalah jumlah jari dalam satu tangan, namun siapa yang tahu jikalau mereka tetap mengenyam pendidikan mungkin merekalah yang jadi ketua BEM, ketua UKM, Mahasiswa Prestasi, atau bahkan koordinator lapangan waktu demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. 

Hanya 10 yang Bertahan 

Sumber : http://fiftytwopoetry.files.wordpress.com/2014/03/10.jpeg

Berlanjut di tingkat akhir Sekolah Menengah Pertama, kawan-kawan saya semakin bertambah yang terbuai rayuan pohon kelapa yang rindang itu. Seakan-akan tak berefek sama sekali, menuntut ilmu di SMP favorit se-kecamatan. Godaan internal masyarakat lebih kuat menusuk di tengah-tengah kurangnya fungsionalis bagian Bimbingan Konseling (BK) di sekolah. Padahal, kami masih untung bisa mencicipi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) mulai tahun 2005. Bantuan ini digembor-gemborkan untuk mensukseskan program wajib belajar 9 tahun dari pemerintah. Nayamul juga (baca : lumayan), dengan bantuan ini seharusnya orang tua wali murid bisa menabung atau mengalihkan dana yang seharusnya dikeluarkan untuk membayar tanggungan pendidikan di SMP, ke pembayaran tanggungan biaya pendidikan di SMA. Sehingga tujuan apik-nya adalah semua peserta didik di SMP bisa dengan mulus tanpa terkendala dana untuk mengenyam bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajatnya. Lagi-lagi, bukan sebuah kebijakan namanya kalau belum mengalami hambatan berarti di negeri ini. Tujuan apik dari program ini belum semuanya terkabul, masih banyak juga pelajar SMP yang enggan melanjutkan ke jenjang berikutnya. Faktor klasik masalah dana senantiasa enggan untuk tidak menyertai setiap nafas pendidikan. Dan yang paling lucu, saya sendiri bercanda “Ya gak papa kog gak sekolah ke SMA, kan udah nggak dosa lagi. Tanya kenapa?, Ya iyalah gak dosa lagi, wong kita dah nyelesain wajib belajar 9 tahun kog. Yang kesepuluh dan selanjutnya kan gak wajib. Hehehe lucu kan?” 

Dan Hanya Tinggal 2 

Sumber : http://www.kopertis2.or.id/

Saya hampir terbelangak tak percaya akan akhir kisah bersama kawan-kawan pesaing waktu kelas IV SD dulu itu. Setelah hanya sepuluh orang yang melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), sambil mengusap air mata hati saya mengungkapkan hanya dua yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Ini serius bukan hanya karena efek KB yang menyebutkan dua anak lebih baik. Mungkin tidak salah, sekolah kami telah berhasil meng-KB-kan lulusannya. Sekali lagi susah sekali saya percaya. Pasalnya, saya ini angkatan lahir ’92 bukan lah zaman pra-kemerdekaan atau awal pembangunan NKRI. Masyarakat boleh dibaurkan dengan hegemoni gempita pendaftaran SNMPTN 2011 yang peminatnya mencapai 540.928 [1]. Namun sejatinya miris banget bukan miris ajah, sampelnya jelas kisah dari kawan seperjuangan saya waktu sekolah dasar yang hanya dua orang saja yang mencicipi bangku kuliah. Saya pun agak yakin, kondisi ini juga terjadi di daerah lain yang coraknya hampir sama dengan daerah saya tinggal dulu. Setelah reunian lebaran kemarin, tetangga dan kawan saya mengatakan bahwa pendidikan tinggi itu bukan faktor kesuksesan. Seratus saya acungkan jempol terhadap statement mereka. Sejatinya sudah berkali-kali, orang mengingatkan ini bukan masalah sukses atau tidaknya seseorang. Inilah permasalahan dasar mengenai sadar atau tidaknya peran pendidikan terhadap pembangunan bangsa. Mengapa peribahasa menganjurkan menuntutlah ilmu sampai negeri China jikalau hanya untuk mencari kesuksesan? 

Apa yang Kurang Benar? 
Lalu, lantas bagaimanakah mengilhami kisah ini? Apakah berakhir semata di utain cerpen dan paling panjangnya di atas novel? Ternyata, kisah ini membawa analisis-sintesis yang terpadu buat saya khususnya. Memang masih adanya faktor budaya lulus SMP langsung merantau sampai sekarang ini, inilah yang saya sebut sebagai sebuah tradisi di desa kami. Bukanlah tradisi yang terikat hukum agama dan adat. Yang dimaksud adalah tradisi karena jeratan ekonomi. Pertama-tama, mereka hanya ingin seperti tetangga yang gaul waktu mudik lebaran. Akan tetapi, lambat laun faktor pemenuhan kebutuhan ekonomi dipastikan akan menjadi kunci utama dalam pergerakan mereka. Dalam konteks ini, saya akan lebih melirik faktor yang sangat sering disebut sebagai faktor klasik yaitu dana atau dikenal sebagai istilah “biaya pendidikan”. Program pemerintah yang mencanangkan wajib belajar 9 tahun dan dibarengi pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bisa jadi dikatakan sukses terlaksana. Perlu digarisbawahi dan dicetak tebal, program tersebut hanya sukses mengantar anak indonesia sampai jenjang SMP saja. Untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya, itu tergantung orang tua dan sebagian untuk ke SMA juga tergantung kebijakan pemerintah daerah setempat. Mengingat, ada beberapa pemerintah daerah yang menggratiskan biaya pendidikan di tingkat SMA. Namun, tetap belum jelas kepastian banyak atau tidaknya anak Indonesia yang melanjutkan setelah SMP dan SMA. Perihal yang sangat menakutkan untuk melanjutkan kuliah itu bukan ospek nya yang aneh-aneh atau ada dosen yang tidak jelas memberi nilai, namun kembali lagi ke faktor klasik yaitu dana. Saya pernah dengar kawan-kawan yang sering berdemo, mereka mengatakan pendidikan tinggi di Indonesia ini sekarang penuh dengan komersialisasi. Masih kata mereka, perguruan tinggi tidak mementingkan kualitas lulusan namun memikirkan saldo akhir tahun masih tersisa berapa. Beuh, kalau benar begitu mungkin lebih baik jadi koperasi atau lembaga usaha yang benar-benar nampak adanya. 

Solusi : Pendidikan Tinggi Gratis? 

Sumber : http://pmb.polindra.ac.id/

Pendidikan tinggi gratis seharusnya hal yang mutlak untuk Indonesia saat ini. Weleh-weleh, gelo sia! Darimana dananya? Ketika tekad dibarengi praktek yang sehat maka sekiranya tidak ada yang mustahil untuk pendidikan Indonesia. Pahit-pahitnya saya lebih setuju ketika dana kompensasi BOS dialihkan ke dalam sebuah program khusus untuk memberi kompensasi biaya pendidikan di pendidikan tinggi. Sekiranya mungkin orang tua walimurid juga lebih setuju pendidikan tinggi yang gratis dibandingkan dengan SD dan SMP yang gratis. Konsep ini tetap memberikan peran tanggung jawab keorangtuaan kepada anak di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Teman saya yang notabene sebagai delegasi Indonesia di ajang ISWI Jerman pernah bercerita, di saat sesi pengakraban dengan delegasi lain seluruh dunia, dia bertemu delegasi dari Turkmenistan. Cerita mereka berhilir pada konsep pendidikan tinggi gratis di negara tersebut. Hal yang dahsyat, betapa tidak? Negara yang pernah dikalahkan sepak bolanya oleh Tim Garuda di ajang Pra Piala Dunia 2014 leg kedua ini mampu dan yakin menerapkan pendidikan tinggi gratis untuk seluruh rakyatnya. Bukankah ini cambuk motivasi bagi bangsa kita? Hanya tinggal mau atau ragu saja sebetulnya.
            Dengan penerapan pendidikan tinggi gratis, gelar sarjana bukanlah sekadar gelar materialistis yang mengedepankan profit ketika masuk dunia kerja. Ribuan sarjana akan menyerbu dusun-dusun, desa-desa, dan seluruh pelosok nusantara. Ketika bekal pendidikan terpenuhi, kesuksesan sangatlah mungkin untuk mengikuti sebagai hasil dari sebuah proses pembelajaran. Inilah sebuah konsep yang mencerminkan Pendidikan Kerayakyatan. Sebuah pola pendidikan yang pro sekaligus mencerdaskan semua rakyat, bukan mencerdaskan mereka yang berkantong penuh. Sebuah pola pendidikan yang mengedepankan pengabdian pada masyarakat, bukan pengabdian pada kaum kapitalis. Hilirnya, dengan konsep ini diharapkan mampu mewujudkan Indonesia cerdas dan selanjutnya tidak hanya cukup menjadi Macan Asia, namun berpotensi untuk menjadi Garuda yang mencengkeram kuat dunia ini. Semoga.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Tersedia di : http://nasional.cukupsatu.com/news/read/2011/05/31/1743/jumlah-peserta-snmptn-capai-540.928

No comments:
Write Komentar