Malu juga boleh jikalau
ada khalayak yang menonton realitas kehidupanku. Buat aku semuanya egoisitas ini
hanya untuk sekadar lulus jadi seorang sarjana pendidik. Seperti yang
didambakan Ayah sebelum mengedipkan mata terakir kalinya. Pagi itu entah apakah
aku benar-benar menjadi seorang anak yang durhaka pada Ibu. Kuantarkannya ke
terminal bus untuk menuju penampungan para pramuwisma, apapun itu kalau
orang-orang mengenalnya hanya sebagai penampungan pembantu. Di sana puluhan
calon pembantu dan calon baby sister menanti calon majikan menjemput. Dalam
artian tidak gratisan, majikan harus menebus dengan biaya yang telah ditentukan
untuk dapat memperkerjakannya. Semalam saja aku ikut menginap di sana, rasanya
nyamuk-nyamuk itu ikut menertawaiku dengan ejekan “mahasiswa kog ngantar Ibunya
jadi Pembantu, apa kata Dunia Nyamuk?”. Dualisme persepsi kali itu menyelimuti
pikiran ini. Pertama, saya harus realistis dan menuruti keputusan Ibuku untuk
bekerja di Jakarta sebagai pramuwisma. Kedua, sebagai mahasiswa sekaligus anak
saya sejatinya tidak tega.
Bukannya tanpa sebab
kejadian ini terjadi. Sejak aku masih balita, Ibuku telah pergi jauh merantau
untuk mencari penghidupan baru setelah ditinggal tanpa status suami. Dalam dan
luar negeri telah Ibu sambangi. Mulai dari pembantu rumah tangga sampai jabatan
tertingginya adalah sebagai juru masak di kantor konjen RI di Vietnam. Maklum,
Ibu memang tak mengenyam pendidikan sama sekali. Bahkan Ibu termasuk salah satu
penderita buta aksara. Cerita lucunya waktu Ibu ikut staf diplomatik di Mesir,
saat itu diminta untuk beli garam. Bubuk putih yang digelar oleh pedagang
sayur, semuanya dicicipi oleh Ibu. Yang asin berarti itulah yang garam. Lucu
juga sih tapi sepertinya agak berisiko. Ibu pulang setelah lebih dari 10 tahun
mencari sesuap nasi di negeri orang. Hatiku sih senang, namun usul tak punya
usut, Ibu pulang karena Ayah menderita sakit keras dan berkepanjangan. Sungguh,
Ibu bak malaikat surga yang tercipta untuk Ayah. Walaupun ditinggal, dicaci dan
bahkan dimadu namun Ibu tetap setia merawat Ayah dengan setulus hati. Hampir 5
tahun rata-rata nya Ibu merawat Ayah dan pada akhirnya Allah berencana yang
lebih baik untuk Ayah. Semenjak saat itu, kondisi ekonomi kami terdampar hampir
180 derajat. Ujian yang sampai saat ini masih kami kerjakan untuk mencapai
sebuah kelulusan yang hebat dan berkah. Ya ujian ekonomi yang greget adalah
hutang keluarga yang menumpuk. Kami yakin, sedikit demi sedikit pasti akan
kelar juga dan kami pun yakin bawasannya Allah mempunyai rencana terindahnya
untuk keluarga kami.
Sedari SMA aku sudah
mendapatkan beasiswa berprestasi di sebuah sekolah Rintisan Sekolah Berstandar
Internasional (RSBI) yang terbaik di kabupaten. Dengan beasiswa ini tentunya
jatah SPP dan uang saku dari Ibu telah kutabung untuk bekal melanjutkan ke
perguruan tinggi, karena aku mempunyai cita untuk jadi seorang Teknokrat. Ujian
yang menimpa keluarga juga tak luput berdampak pada tabungan kuliahku. Seratus
persen tertarik untuk membantu pembiayaan pengobatan Ayah. Mencoba ikhlas
adalah ikhtiar tepat bagiku, Ayah itu hanya Satu namun kuliah masih ada Waktu.
Setelah lulus SMA, mencari beasiswa penuh adalah solusi terbaik bagiku. Perguruan
tinggi terdepan dalam teknologi tentunya tidak luput dari bidikanku. Selain itu
juga mencoba beberapa perguruan tinggi lainnya. Alhasil, di tahun pertama
setelah kelulusanku dari SMA, aku belum diterima di perguruan tinggi manapun.
Ketika kulihat pengumuman, hanya nama orang lain ataupun teman yang keterima.
Alasan terkuatku untuk
tetap kuliah adalah untuk menghaluskan kembali lutut Ibu yang telah kasar
tergores beratus ubin lantai orang-orang kaya. Tak memaksakan kehendak untuk
ikut jalur yang lebih mahal, aku putuskan untuk bekerja terlebih dahulu.
Orientasi utamanya adalah untuk mengumpulkan biaya masuk perguruan tinggi di
tahun berikutnya. Sebagai anak lulusan SMA, aku bekerja di sebuah yayasan
lembaga amil zakat. Spesifikasi pekerjaanku adalah sebagai fundrising. Otomatis gajinya pun tidak cukup besar dan bahkan di
bawah UMR. Untung saja ada ustadzku waktu ngaji dulu yang menawari pekerjaan
sampingan, yaitu sebagai penjaga kos-kosan. Imbal baliknya aku dikasih honor
seratus lima puluh ribu rupiah setiap bulannya dan dibebaskan dari biaya kontrakan.
Setiap pagi sebelum kerja aku sempatkan membersihkan halaman kosan dan mengecek
anak-anak kos. Dan berlanjut sepulang kerja, tugas wajibku adalah tetap
memantau anak-anak kos yang notabene masih tergolong usia labil. Jangan sampai
terjadi sesuatu di luar keinginan di dalam kosan yang kujaga. Masih saja kurang
cukup ternyata segala yang kuupayakan untuk menabung guna pembiayaan kuliah
nanti. Maklum waktu itu aku juga masih punya tanggungan adik satu yang duduk di
Sekolah Dasar. Untuk menambah pundi-pundi kantong, aku membuka Angkringan atau
warung kopi yang mulai beroperasi dari jam 5 sore sampai jam 10.30 malam.
Menunya berbagai macam dan hasilnya pun dibagi dengan pemilik modal. Pekerjaan
tambahan ini tentunya memotong masa istirahatku kecuali di akhir pekan yang
kantor tempat kerjaku libur.
Jauh panggang dari api.
Masih saja, tiga bulan pertama segala upaya yang telah kulakukan ternyata belum
dapat menambah saldo tabungan persiapan kuliahku. Di saat itu, datang tawaran
dari saudara yang tinggal di luar kota untuk mencoba berjualan di pasar pagi. Rencana
saya adalah ketika dini hari saya jualan dan siangnya dapat belajar untuk
mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi negeri. Singkat cerita tawaran itu
aku ambil dan berhijrahlah aku ke luar kota. Di sebuah kota eksotik dan
acapkali disebut sebagai Flower City,
aku malah berada jauh di balik gemerlapnya kota tersebut. Paving yang becek,
bau dan berlumpur adalah alas pijakanku setiap hari. Dan seolah-olah tarian wanita
jadi-jadian (banci-red) di pinggir jalan adalah sambutan rutinku setiap kali
pergi belanja dagangan saat dini hari. Aku yang dulunya seorang pimpinan
organisasi antar sekolah tingkat SMA dan menjuarai beberapa kompetisi ilmiah
siswa, kini adalah seorang pedagang ayam boiler di sebuah pasar tradisional.
Jam 2 pagi aku pergi berbelanja, jam 3 pagi aku mencabuti bulu ayam dan
membersihkan semua isi perut ayam, dan jam setengah 4 sampai jam 8 pagi aku
mulai meladeni pelanggan yang mayoritas adalah tukang bakso dan pedagang sayur.
Tak sampai situ, jam setengah 9 pagi adalah moment yang selalu kuingat sampai
sekarang yaitu membelah usus ayam dengan silet dan memisahkan antara usus
dengan kotoran ayamnya. Ehmmms, maaf jikalau membuat Anda berimajinasi namun
ini adalah realitasku beberapa tahun yang lalu. Dagang itu ternyata penuh
harap-harap cemas, boleh jadi hari ini untung namun hari berikutnya buntung. Rencana
awal sewaktu mau berangkat Alhamdulillah terlaksana dengan baik. Dini hari
jualan dan siangnya belajar pun terlaksana. Dan Alhamdulilah Wa Syukurillah,
alhasil atas izin-Nya aku masuk sebagai mahasiswa di salah satu perguruan
tinggi negeri di kota tersebut. Di semester pertama rutinitasku sebagai
pedagang ayam potong pun masih berjalan dan imbasnya rasa kantuk selalu
menyelimuti ketika kuliah. Terkadang bau isi usus ayam ikut serta dalam
kuliahku di kelas, maklum karena buru-buru aku ternyata lupa untuk mandi.
Sekali lagi, Ibuku
adalah alasan terkuatku mengapa aku harus terus bertahan dan berjuang. Memang,
di tingkat 3 masa kuliahku belum bisa menutup rapor tanggungan hutang keluarga
secara penuh. Setidaknya aku sudah mulai ikut berbahagia ketika Ibu mulai
tersenyum lebar untukku. “Anakku itu sering lomba di mana-mana, IP kuliahnya
diatas 3.5, sering berpidato ngisi acara juga, dan sekarang aku dibukakan kios
untuk jualan sendiri. Sampeyan (Anda-red)
mau mbak sama anakku?” itulah candaan Ibuku ke seorang pelanggannya yang memang
manis dan beraura. Dalam hati sih saya senang karena dicarikan jodoh, namun
tetap saja saya pura-pura malu dan meminta Ibu untuk tidak mengulanginya lagi.
Hehe. Perjalanan ini belum selasai dan ujian ini belum tuntas kami tutup dengan
nilai cumlaude. Kami percaya bahwa
yang maha kuasa memberikan keindahan di akhir kisah ini, dan kami pun senantisa
berdo’a untuk Ayah semoga ditempatkan di sisi terbaik-Nya. Aamiin.
Tulisan
ini diikutsertakan dalam Lomba #CintaMenginspirasi 2014. Kawan-kawan pun juga dapat berpartisipasi dalam Lomba ini dengan mengklik icon banner di bawah ini. Good Luck!
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete