Dunia
kampus adalah dunia yang mengasyikkan dalam sandiwara perjalanan hidup seorang
akademisi. Dunia kampus menawarkan berbagai kenikmatan-kenikmatan yang
seyogyanya tidak mungkin untuk dinikmati di luar kampus. Mahasiswa sebagai
rakyat utama kampus berperan penting dalam penciptaan situasi dan kondisi
kampus. Arah peradaban kampus pun juga tak lepas dari peran mahasiswa. Misalnya
condong ke arah ilmiah, religius, pengabdian masyarakat maupun condong ke arah
politik.
Tentu saja, sudahlah tak asing lagi telinga kita dengan berbagai
taksonomi mahasiswa di kampus. Taksonomi mahasiswa tersebut sering diidentikkan
dengan segi aktivitas mereka di kampus. Taksonomi tersebut meliputi mahasiswa
organisatoris, mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang), kunang-kunang
(kuliah nangkring-kuliah nagkring) dan mahasiswa yang menyibukkan dirinya
sebagai aktivis. Mahasiswa mempunyai otoritas sendiri dalam menempatkan dirinya
dalam beberapa gelar taksonomi tersebut. Dalam konteks kali ini, penulis akan
menyoroti mahasiswa yang menempatkan dirinya sebagai aktivis kampus khususnya
aktivis dakwah kampus. Aktivis merupakan kata-kata yang tidak asing lagi
didengar di kalangan mahasiswa ataupun masyararakat umum. Banyak pendapat yang
menyebutkan aktivis adalah mereka yang senantiasa bergerak dengan segala ide
dan pemikirannya demi mengusung perbaikan individu,kelompok maupun organisasi
atas dasar dan pedoman yang jelas. Penulis sendiri mengartikan aktivis sebagai
individu yang aktif dalam segala bentuk perubahan untuk dirinya sendiri maupun
kelompok. Ada seribu alasan tersendiri mengapa segelintir mahasiswa memilih
menjadi seorang aktivis kampus. Salah satunya adalah untuk jadi agen perubahan
yang signifikan terhadap dunia kampus khususnya dan masyarakat pada umumnya. Dalam
lika-liku perjalanannya aktivis mengambil banyak peran dalam tatanan kampus. Pada
dasarnya seorang aktivis selalu tidak bisa tenang dengan gejala sosial yang
berkecamuk di tataran masyarakat. Mereka selalu merasa terpanggil dan
berkeinganan untuk bergerak walaupun demi suatu perubahan sekecil apapun.
Tujuannya jelas, yaitu agar tigak terjadi stagnasisasi keadaan. Jika ditinjau
dari sejarah, aktivis kampus merupakan sosok penggerak utama ke arah perjuangan.
Pada awal kemerdekaan, aktivis semisal Bung Karno dan Bung Hatta adalah motor
utama bagi pergerakan nasional dalam memerangi penjajahan di bumi pertiwi.
Beliau adalah pemuda muslim yang mempunyai cita-cita akbar untuk bangsa
Indonesia. Dengan segala daya dan upaya, Bung Karno dan kawan-kawan berusaha
memberikan pemahaman kepada rakyat Indonesia utuk lebih menyadari betapa
pentingnya kemerdekaan di tanah air sendiri. Nasionalisme yang tertanam inilah
yang mempersatukan bangsa Indonesia untuk mengusir penjajah dan merebut
kemerdekaan. Itu lah sedikit cerminan betapa urgensinya peran aktivis kampus di
setiap masanya. Aktivis
kampus pada umumnya mempunyai semangat yang menggebu-gebu ketika masih
mencicipi dunia kampus. Mereka mencerminkan sosok asli dirinya masing-masing
dengan sebuah idealisme yang kuat ataupun hanya sekadar dikuat-kuatkan. Pantang
hukumnya mereka mengatakan yang buruk itu baik dan pantang juga mereka “rubuh-rubuh gedhang” yaitu hanya
mengikuti arus tanpa membuat sebuah goresan emas yang tercatat sejarah. Idealisme
adalah ciri khas bagi seorang aktivis kampus. Bidang filsafat menyebutkan bahwa
idealisme adalah keyakinan atas suatu hal yang dianggap benar oleh individu
yang bersangkutan dengan bersumber dari pengalaman, pendidikan, kultur budaya
dan kebiasaan. Dari definisi tersebut jelas bahwa idealisme seorang aktivis
kampus adalam memperjuangkan sebuah hakikat kebenaran. Mereka pun berani
menyerang sebuah sistem bahkan mafia hanya untuk mememperjuangkan kebenaran
yang ingin dicapai. Idealisme tumbuh secara perlahan-lahan dan melalui berbagai
proses yang menempa kapabilitas individu yang berangkutan. Aktivis kampus di
kala masih aktif sebagai mahsiswa seringkali menjadi pengawas bagi
pemerintahan. Mereka sangat sensitif dengan gejala sosial politik yang terjadi
di negara ini. Mulai dari kasus korupsi, ketidaktegasan pemerintah, pendidikan,
pengangguran, dan masalah lainnya tidak luput dari mata tajam para aktivis
kampus. Turun ke jalan adalah sebuah cara yang seringkali digunakan para
aktivis untuk menyuarakan suara mereka. Seolah-olah aktivis kampus adalah oposisi
utama bagi pemegang pangku kekuasaan yang kurang amanah.
Seiring berjalannya waktu, ternyata
ditemui beberapa hal aneh bagi seorang aktivis ketika sudah menekuni dunia
kerja. Lunturnya idealisme adalah masalah utama yang sering terjadi. Ironis
memang, Idealisme yang semasa kuliah ditempa dengan sederet intelektualitas dan
pengalaman tiba-tiba terkikis saat mereka mulai menghirup segarnya udara di
luar kampus. Sebut saja sedertan pejabat negara yang tersandung masalah
korupsi. Pada umumnya mereka sebagian besar adalah aktivis tulen dan mempunyai
relasi yang kuat semasa kuliah. Namun sekali lagi aneh bin ajaib, jati diri
mereka terkunyah oleh sederet sodoran rupiah yang melimpah walaupun tidak sama
sekali barokah. Mungkin hal tersebut cocok dengan beberapa asumsi bahwa
lingkungan adalah faktor utama dalam pembentukan kepribadian dan perilaku
seseorang. Mereka sewaktu masih menjadi aktivis kampus mampu menjaga jati
dirinya karena berkumpulnya dengan para aktivis lainnya. Sedangkan di dunia
kerja, lingkungan yang tersedia kebanyakan adalah bersifat materialistik
ataupun sekadar tuntutan jabatan yang menggiurkan. Fenomena lunturnya jiwa
seorang aktivis kampus ini sudah layaknya menjadi perhatian khusus bagi semua
kalangan khususnya mahsiswa. Semua stakeholder
akademisi sudah seharusnya melakukan sebuah upaya mitigasi degradasi
karakter seorang aktivis kampus yang sesungguhnya. Pendidikan karakter yang
dewasa ini digembor-gemborkan pemerintah sangat relevan untuk menanggulangi
masalah ini. Sinergitas kuat antara segmen yang bersangkutan juga harus
ditingkatkan. Karena pada hakikatnya, komunikasi dan koordinasi matang adalah
sebuah kunci kesuksessan sebuah program. Sebuah ikatan mantan aktivis kampus
mungkin juga merupakan wadah yang tepat untuk saling mengingatkan jalan
kebenaran di masing-masing pekerjaan yang ditekuni. Dengan adanya sebuah
pengawasan antara satu pihak dengan pihak lain diharapkan akan memperkecil niat
seorang mantahn aktivis kampus untuk membelot dari tatanan yang sudah ada. Di
akhir pembahasan, penulis mengajak kepada seluruh calon aktivis maupun yang
sudah bergelar aktivis kampus untuk senantiasa stagnan dengan idealisme yang
sudah dipilih. Lingkungan boleh saja keruh, namun sebagai aktivis dakwah kampus
sejati hendaknya minimal menjaga kesucian diri dan harapannya besarnya
menjernihkan lingkungan yang terlanjur keruh tersebut. Indonesia mundur berkat
oknum aktivis dan Indonesia maju berkat aktivis sejati!
No comments:
Write Komentar