Menghembus Awan Hitam!
“Halo, cen kamu cepet pulang ya sekarang, Bapak dirawat di
rumah sakit ni” suara kakak dengan nada lesu campur tergesa-gesa. Akupun
bergegas kemas-kemas barang di kosan dan langsung meluncur ke rumah sakit.
Memang, di usia 50 tahun lebih ini Bapak sering terkena sakit yang lumayan
serius. Misalnya darah tinggi, reumatik, dan bahkan stroke. Keluar masuk rumah
sakit adalah hal yang wajar, sebelum yang sekarng ini Bapak udah dua kali di
rawat inap. Prtama-tama biaya untuk berobat kurang bermasalah, namun semenjak
Ibu berhenti bekerja untuk merawat Bapak, kami sngat kesulitan untuk biaya
pengobatan. Ya mungkin hanya sekadar gali
lobang tutup lobang.
Aku sangat salut pada Ibuku. Dengan bekas luka dihatinya,
beliau tak enggan merawat Bapak. Ibu sangat sabar dan penuh kasih sayang untuk
merawat Bapak, saking sayangnya Ibu rela menjual semua kenang-kengannya ketia
Ibu masih bekerja di luar negeri. Ibu bukanlah TKI, Ibu hanya diajak seorang
Diplomatik untuk menjadi seorang juru masak. Sekali lagi aku salut sama Ibu,
beliau gak pernah sekolah sama sekali. Namun jangn ditanya tentang pengalamannya,
beliau pernah singgah di empat benua di dunia ini. Hanya satu benua yang belum,
yaitu Amerika. Waktu ada tawaran diajak ke Amerika dari adik bosnya, Ibu sedang
di rumah merawat Bapak. Ada satu cerita yang agak lucu dari Ibu, ketia beliau
di Mesir sempat diminta beli garam oleh atasan. Karena Ibi gak bisa baca, gak
bisa nulis, dan gak bisa bahasa inggris atau bahasa mesir, Ibu mencicipi satu
per satu serbuk putih yang ada di warung. Untung, kali ini Ibu beruntung.
Cicipan pertama rasanya asin, tentu donk itu pasti garam(pikiran Ibu). Ketika
pulang, ternyata si bos meminta maaf kepada Ibu karena kalau Ibu orang baru di
mesir. Ketika garam dikasihkan, si bos sangat salut kepada ibu.hehehe. Itulah
Ibu, ketika mendapat amanah selalu ingin dikerjakan dengan segala daya dan
upaya.
Dua hari lagi tepat akan datang Idul Fitri, kita berempat
masih menghuni ruang kecil di lantai dua di rumah sakit modern ini. Kami hanya
berharap, Bapak lekas pulih dan bisa merasakan suka cita di hari yang fitri.
Harapan kami mungkin terkabul di hari
lain, di hari yang fitri ini Bapak masi terlelap di atas kasur tipis di rumah
sakit. Sungkeman(tradisi jawa ketika lebaran) dilakukan di rumah sakit. Raut
wajah Ibu sangat bahagia dan terharu, mungkin ini lebaran penuh makna bagi Ibu.
***
Tak
terasa waktu begitu cepat berlalu, kini sudah menginjak bulan Ramadhan lagi. Di
bulan ada kado spesial buatku dan khususnya Ibuku. Setelah merantau selama tiga
bulan di Bandung, akhirnya aku diterima di Universitas impianku. Ibuku sangat
ingin melihat aku jadi seorang mahsiswa, apalagi mahsiswa berprestasi.hehehe.
OSPEK pun tiba, aku siap-siap tuk menyambut kakak tingkat yang katanya agak
sangar ketika pertama kali menyambut mahasiswa. Aku berjalan beriringan dengan
teman-teman baru satu sektor. Mungkin, jika dilihat dari atas kami akan
terlihat seperti papan catur yang panjang. Karena kami serentak menggunakan baju
putih lengan panjang dan celana hitam panjang. Gempita yel-yel kami dengungkan,
bahkan ada candaan temenku yang mengatakan “yel-yel kita harus bisa merobohkan
menara gedung itu”. Di dalam gedung,
upacara adat menyambut kedatangan pembesar kampus. Seolah-olah aku dan yang
lain merupakan pendatang baru yang harus diritua; sesaklar mungkin. Sela-sela
acara yang membosnkan, ada acra hiburan yang cukup menggoyahkan pikiran. Tarian
khas aceh, walaupun aku lupa apa itu namanya aku tetap menikmatinya. “titit…titit…titit…”
hpku berdering. Ternyata mbakku sms, sms yang membuatku luluh dan perasaan
kacau tak terarah. Tak lama kemudian, hp ku berdering keras. Kali ini telepon
dari mbak aku juga, nada suara ini lebih membuatku seakan-akan lumpuh
kehilangan daya dan upaya. “Ayahku wafat…” pikiranku belum percaya. Aku masih
teringat raut muka terakhirnya yang menagis haru ketika aku pulang membawa
kabar diterima aku di sini. Ayah, aku belum sempat mencium tanganmu di lebaran
nanti. Aku belum sempat menghapus air mata yang dulu kau persembahkan untukku.
Tak
banyak tingkah, aku langsung izin panitia ospek dan langsung pulang kerumah.
Kebetulan, Pak Lek ku di rumah sudah memesankan tiket kereta api untukku. Tepat
pukul 20.10 WIB berangkat dari Stasiun Bandung menuju Stasiun Balapan Solo.
Waktu sahur aku lewati kereta, ada yang berneda saat sahur kali ini. Rasa nafsu
makan sepertinya hilang, nasi hanya tercuil beberapa pucuk sendok. Aku sangat
ingin bergegas sampai di rumah. Sepuluh jam perjalanan di malam hari ini serasa
di waktu siang yang panas. Pukul 06.30 WIB aku tiba di Stasiun Balapan.
Becakpun ku pilih untuk transit ke Terminal Tirtonadi. Di pojok kan terminal,
telah bertengger bus penumpang jurusan Solo – Wonogiri. Bus yang dulu jadi
kebanggan aku semasa sekolah, sekarang kudaki dengan rasa risau dan gundah.
Hatiku semakin tak jelas ketika bus ini tak sampai-sampai, karena waktu masih
terlalu pagi bus ini selalu ngetem hampir di setiap pasar yang dilewati. Bus
ini terlalu lama ngetem, aku tak mau ambil resiko. Aku turun orang di rumah dan
minta aku dijemput. Tak lama menunggu, jemputan motor datang dan akupun
langsung meluncur secepat kilat menuju rumah.
Aku
sudah menduga tapi sepertinya tanpa pengharapan kalau ini harus terjadi, di
sekeliling rumahku terpenuhi warga yang duduk di teras dan tenda biru yang baru
dipasang. Bergegaslah aku turun dari motor dan berlari kencang ke dalam rumah.
Kulihat kotak putih dua meter membujur berhadap ke utara. Kembang setaman
bertaburan di dalam kotak yang belum ditutup itu. “Ayah, daku berharap maafmu
karena anakmu ini tak sempat menunggu kedip mata terakhirmu”. Aku hanya memanjatkan
do’a serambi mencium kening ayah. Tepat pukul 11.00 WIB Ayah diberangkatkan ke
makam, aku berusaha memikul salah satu ujung pikul yang membawa Ayah. Terik
matahari ini tak terasa menyentuh kulit, rasaku hanya berusaha untuk
mengikhlaskan semua ini. Allah pasti memberikan yang terbaik dan teindah untuk
kami jalani sekeluarga. Kami sekarang tanpa kepala keluarga. Kami tanpa
pangeran di istana ini. Semoga Ayah tetap jadi pangeran di Syurga. Tetaplah
semangat Ayah, kami selalu mempersembahkan do’a ini untukmu.
***
Pertengahatahun
2012 ini, kembali aku berjumpa bulan Ramadhan ini. Sebuah kesempatan yang luar
biasa untukku. Aku bertekad tidak akan menyia-nyiakan bulan ini. Kata Pak
Ustadz bulan ini adalah bulan yang tepat untuk merestorasi ataupun menempa
diri. Sampai saat ini masalah belum beranjak dari keluarga. Kakakku, sebetulnya
dia lah harapan keluarga setelah kepergian Ayah. Kakak di sekolahkan dengan susah
payah sampai tingkat diploma ilmu kebidanan. Biaya kuliah pun sebagian besar
merupakan hasil jual sawah kenangan terakhir Ibu ketika merantau. Aku sendri
gak habis pikir, apkah ini emang keputusan kedewasaannya? Atau sekadar
keinginan pribadi dong?. Kakaku menolak untuk mencari kerja terlebih dahulu,
dia pilih lebih cepat untuk ke pelaminan. Sosok laki – laki yang dulu sangat
tidak direstui Ayah jadi pilihannya. Nasihat kami tidak mempan, selalu mental
dan mental. Apa boleh buat, kami tidak ingin berlarut-larut dalam dilematika
yang berkepanjangan. Kami mengiyakan keinginannya untuk naik di kursi
pelaminan. Ternyata sesuai dugaan, merka dan kami hidup sampai sekarang tanpa
penghasilan.
Aku
sangat sering nelpon Ibu di rumah. Aku sangat kangen dan sangat berkeinginan
untuk hidup bersama. Yah, mungkin ini bagian dari pengasahan kekebalan dan
kematanganku untuk bekal hidup. Satu bulan selama Ramadhan terus kupanjatkan
permohonan dari-Mu ya Allah. Berkailah kami, sejahterakanlah keluarga kecil
kami, dan tunjukilah kami agar tetap di jalan-Mu.
Ya
Rabbi…
Di
Bulan Hikmah ini
Kirimkalah
Sang Bayu Pencerah
Tuk
menghembus, Tuk menyapu
Awan
hitam nan mencengkeram
Istana
Keluarga Kecil ini
No comments:
Write Komentar