Sunday, April 20, 2014

Tak kan Lagi Kuantar Ibuku Jadi Pembantu!

Malu juga boleh jikalau ada khalayak yang menonton realitas kehidupanku. Buat aku semuanya egoisitas ini hanya untuk sekadar lulus jadi seorang sarjana pendidik. Seperti yang didambakan Ayah sebelum mengedipkan mata terakir kalinya. Pagi itu entah apakah aku benar-benar menjadi seorang anak yang durhaka pada Ibu. Kuantarkannya ke terminal bus untuk menuju penampungan para pramuwisma, apapun itu kalau orang-orang mengenalnya hanya sebagai penampungan pembantu. Di sana puluhan calon pembantu dan calon baby sister menanti calon majikan menjemput. Dalam artian tidak gratisan, majikan harus menebus dengan biaya yang telah ditentukan untuk dapat memperkerjakannya. Semalam saja aku ikut menginap di sana, rasanya nyamuk-nyamuk itu ikut menertawaiku dengan ejekan “mahasiswa kog ngantar Ibunya jadi Pembantu, apa kata Dunia Nyamuk?”. Dualisme persepsi kali itu menyelimuti pikiran ini. Pertama, saya harus realistis dan menuruti keputusan Ibuku untuk bekerja di Jakarta sebagai pramuwisma. Kedua, sebagai mahasiswa sekaligus anak saya sejatinya tidak tega. 

Bukannya tanpa sebab kejadian ini terjadi. Sejak aku masih balita, Ibuku telah pergi jauh merantau untuk mencari penghidupan baru setelah ditinggal tanpa status suami. Dalam dan luar negeri telah Ibu sambangi. Mulai dari pembantu rumah tangga sampai jabatan tertingginya adalah sebagai juru masak di kantor konjen RI di Vietnam. Maklum, Ibu memang tak mengenyam pendidikan sama sekali. Bahkan Ibu termasuk salah satu penderita buta aksara. Cerita lucunya waktu Ibu ikut staf diplomatik di Mesir, saat itu diminta untuk beli garam. Bubuk putih yang digelar oleh pedagang sayur, semuanya dicicipi oleh Ibu. Yang asin berarti itulah yang garam. Lucu juga sih tapi sepertinya agak berisiko. Ibu pulang setelah lebih dari 10 tahun mencari sesuap nasi di negeri orang. Hatiku sih senang, namun usul tak punya usut, Ibu pulang karena Ayah menderita sakit keras dan berkepanjangan. Sungguh, Ibu bak malaikat surga yang tercipta untuk Ayah. Walaupun ditinggal, dicaci dan bahkan dimadu namun Ibu tetap setia merawat Ayah dengan setulus hati. Hampir 5 tahun rata-rata nya Ibu merawat Ayah dan pada akhirnya Allah berencana yang lebih baik untuk Ayah. Semenjak saat itu, kondisi ekonomi kami terdampar hampir 180 derajat. Ujian yang sampai saat ini masih kami kerjakan untuk mencapai sebuah kelulusan yang hebat dan berkah. Ya ujian ekonomi yang greget adalah hutang keluarga yang menumpuk. Kami yakin, sedikit demi sedikit pasti akan kelar juga dan kami pun yakin bawasannya Allah mempunyai rencana terindahnya untuk keluarga kami. 

Sedari SMA aku sudah mendapatkan beasiswa berprestasi di sebuah sekolah Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang terbaik di kabupaten. Dengan beasiswa ini tentunya jatah SPP dan uang saku dari Ibu telah kutabung untuk bekal melanjutkan ke perguruan tinggi, karena aku mempunyai cita untuk jadi seorang Teknokrat. Ujian yang menimpa keluarga juga tak luput berdampak pada tabungan kuliahku. Seratus persen tertarik untuk membantu pembiayaan pengobatan Ayah. Mencoba ikhlas adalah ikhtiar tepat bagiku, Ayah itu hanya Satu namun kuliah masih ada Waktu. Setelah lulus SMA, mencari beasiswa penuh adalah solusi terbaik bagiku. Perguruan tinggi terdepan dalam teknologi tentunya tidak luput dari bidikanku. Selain itu juga mencoba beberapa perguruan tinggi lainnya. Alhasil, di tahun pertama setelah kelulusanku dari SMA, aku belum diterima di perguruan tinggi manapun. Ketika kulihat pengumuman, hanya nama orang lain ataupun teman yang keterima. 

Alasan terkuatku untuk tetap kuliah adalah untuk menghaluskan kembali lutut Ibu yang telah kasar tergores beratus ubin lantai orang-orang kaya. Tak memaksakan kehendak untuk ikut jalur yang lebih mahal, aku putuskan untuk bekerja terlebih dahulu. Orientasi utamanya adalah untuk mengumpulkan biaya masuk perguruan tinggi di tahun berikutnya. Sebagai anak lulusan SMA, aku bekerja di sebuah yayasan lembaga amil zakat. Spesifikasi pekerjaanku adalah sebagai fundrising. Otomatis gajinya pun tidak cukup besar dan bahkan di bawah UMR. Untung saja ada ustadzku waktu ngaji dulu yang menawari pekerjaan sampingan, yaitu sebagai penjaga kos-kosan. Imbal baliknya aku dikasih honor seratus lima puluh ribu rupiah setiap bulannya dan dibebaskan dari biaya kontrakan. Setiap pagi sebelum kerja aku sempatkan membersihkan halaman kosan dan mengecek anak-anak kos. Dan berlanjut sepulang kerja, tugas wajibku adalah tetap memantau anak-anak kos yang notabene masih tergolong usia labil. Jangan sampai terjadi sesuatu di luar keinginan di dalam kosan yang kujaga. Masih saja kurang cukup ternyata segala yang kuupayakan untuk menabung guna pembiayaan kuliah nanti. Maklum waktu itu aku juga masih punya tanggungan adik satu yang duduk di Sekolah Dasar. Untuk menambah pundi-pundi kantong, aku membuka Angkringan atau warung kopi yang mulai beroperasi dari jam 5 sore sampai jam 10.30 malam. Menunya berbagai macam dan hasilnya pun dibagi dengan pemilik modal. Pekerjaan tambahan ini tentunya memotong masa istirahatku kecuali di akhir pekan yang kantor tempat kerjaku libur. 

Jauh panggang dari api. Masih saja, tiga bulan pertama segala upaya yang telah kulakukan ternyata belum dapat menambah saldo tabungan persiapan kuliahku. Di saat itu, datang tawaran dari saudara yang tinggal di luar kota untuk mencoba berjualan di pasar pagi. Rencana saya adalah ketika dini hari saya jualan dan siangnya dapat belajar untuk mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi negeri. Singkat cerita tawaran itu aku ambil dan berhijrahlah aku ke luar kota. Di sebuah kota eksotik dan acapkali disebut sebagai Flower City, aku malah berada jauh di balik gemerlapnya kota tersebut. Paving yang becek, bau dan berlumpur adalah alas pijakanku setiap hari. Dan seolah-olah tarian wanita jadi-jadian (banci-red) di pinggir jalan adalah sambutan rutinku setiap kali pergi belanja dagangan saat dini hari. Aku yang dulunya seorang pimpinan organisasi antar sekolah tingkat SMA dan menjuarai beberapa kompetisi ilmiah siswa, kini adalah seorang pedagang ayam boiler di sebuah pasar tradisional. Jam 2 pagi aku pergi berbelanja, jam 3 pagi aku mencabuti bulu ayam dan membersihkan semua isi perut ayam, dan jam setengah 4 sampai jam 8 pagi aku mulai meladeni pelanggan yang mayoritas adalah tukang bakso dan pedagang sayur. Tak sampai situ, jam setengah 9 pagi adalah moment yang selalu kuingat sampai sekarang yaitu membelah usus ayam dengan silet dan memisahkan antara usus dengan kotoran ayamnya. Ehmmms, maaf jikalau membuat Anda berimajinasi namun ini adalah realitasku beberapa tahun yang lalu. Dagang itu ternyata penuh harap-harap cemas, boleh jadi hari ini untung namun hari berikutnya buntung. Rencana awal sewaktu mau berangkat Alhamdulillah terlaksana dengan baik. Dini hari jualan dan siangnya belajar pun terlaksana. Dan Alhamdulilah Wa Syukurillah, alhasil atas izin-Nya aku masuk sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di kota tersebut. Di semester pertama rutinitasku sebagai pedagang ayam potong pun masih berjalan dan imbasnya rasa kantuk selalu menyelimuti ketika kuliah. Terkadang bau isi usus ayam ikut serta dalam kuliahku di kelas, maklum karena buru-buru aku ternyata lupa untuk mandi. 




Sekali lagi, Ibuku adalah alasan terkuatku mengapa aku harus terus bertahan dan berjuang. Memang, di tingkat 3 masa kuliahku belum bisa menutup rapor tanggungan hutang keluarga secara penuh. Setidaknya aku sudah mulai ikut berbahagia ketika Ibu mulai tersenyum lebar untukku. “Anakku itu sering lomba di mana-mana, IP kuliahnya diatas 3.5, sering berpidato ngisi acara juga, dan sekarang aku dibukakan kios untuk jualan sendiri. Sampeyan (Anda-red) mau mbak sama anakku?” itulah candaan Ibuku ke seorang pelanggannya yang memang manis dan beraura. Dalam hati sih saya senang karena dicarikan jodoh, namun tetap saja saya pura-pura malu dan meminta Ibu untuk tidak mengulanginya lagi. Hehe. Perjalanan ini belum selasai dan ujian ini belum tuntas kami tutup dengan nilai cumlaude. Kami percaya bahwa yang maha kuasa memberikan keindahan di akhir kisah ini, dan kami pun senantisa berdo’a untuk Ayah semoga ditempatkan di sisi terbaik-Nya. Aamiin.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba #CintaMenginspirasi 2014. Kawan-kawan pun juga dapat berpartisipasi dalam Lomba ini dengan mengklik icon banner di bawah ini. Good Luck! 


1 comment:
Write Komentar