Tuesday, February 5, 2013

Perginya Sang Putra Fajar (II)


Dikutip dari Buku “SOEKARNO Biografi Singkat 1901-1970” (Taufik Adi Susilo.2008.Yogyakarta:Garasi)

***
                Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata. Malam harinya, ketahanan tubuh Soekarno kian lemah. Dia koma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
                Keesokan harinya, mantan wakil presiden Moh. Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, dia berkata lemah.

                “Hatta.., kau di sini..?”
                Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun, Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
                “Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
                Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
                Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan keyika masih bersatu dalam Dwitunggal.
                “Hoe gaat het met jou . . .?
                Bagaimana keadaanmu?
                Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.
***
                Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan, seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, dia memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang sangat tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.
                Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.
                Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi tak banyak pula yang membencinya. Namun, semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada. 

No comments:
Write Komentar